oleh : Anang Herdiana
Memang susah, mungkin maksud kita ingin memutaba’ah. Eh,... jangan-jangan malah jadi ghibah. Bahkan kalau tidak berhati-hati kita bisa terjerumus pada yang namanya namimah.
Memang betul, dalam tataran praktis operasional jarak antara ghibah dan mutaba’ah serta namimah memang agak sulit dibedakan.
Untuk mencari titik terang dari ketiganya, kita harus mendefinisikan terlebih dahulu tiga istilah diatas.
Rosulullah SAW. telah mendefinisikan ghibah,
ä]!ä5ã !=a: ádä] ÁkfQã ueqA<pêã á ãqeä] Ä ÈÖç~Veã äi lp<9%ã Å ádä] kfAp u~fQêã$I êã dqA< lã Õ=} =s +ã oQ
ÄkfBi rãp<ÅÁu&tæ 9^Y À u~Y ob} T lãp Áu&ç&Uã 9^YÀ dq^% äi u~Y läa lü á dä] Èdq]ã äié5ãòläalü #}ã =Yã ág~] Är=îb}
”dari abu hurairah r.a. bahwasanya Rosulullah SAW. bersabda, Tahukah kalian apa ghibah itu? Mereka (para sahabat) menjawab, Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui. Rasulullah SAW. bersabda, ‘engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.’ Ada yang bertanya. ‘Bagaimana kalau pada saudaraku itu terdapat sesuatu yang saya katakan (faktual)?’ Rasulullah SAW, menjawab, ‘Jika pada saudaramu itu ada sesuatu yang engkau katakan (faktual), maka engkau telah meng-ghibah-nya, jika tidak ada (tidak faktual), maka engkau telah membuat kedustaan tentangnya.” (H.R. Muslim)
Disini Rosulullah SAW. mengaitkan ghibah dengan buhtan. Ghibah adalah untuk hal-hal yang faktual, nyata dan kenyataannya memang begitu. Sedangkan buhtan adalah untuk hal-hal yang tidak faktual, tidak ada kenyataannya.
Berarti, saat kita membicarakan orang lain, ada lagi satu titik kerawanan syar’i, yaitu kemungkinan terjerumus kedalam buhtan (kedustaan).
Sedangkan namimah adalah :
Á8äBYöã Öt-éîfQ ORæéîeü ktNRæ @äneãhwa g^m
“mentransfer pembicaraan suatu manusia kepada lainnya dengan maksud merusak.” (An-Nawawi dalam Al Adzkar)
Simpul dari definisi adalah pada maksud merusak, sebab, bila mentransfer itu dilakukkan dengan maksud mendamaikan atau untuk mengacaukan barisan musuh islam, maka hal itu dibenarkan.
Imam Ghazali mengatakan :
@äneã dãq1ãoi rã< äiga oQ #bB}lã läBm÷eéVçj}p ÀuFZa r=b} äjQ QBeãc&sp =Beã xäFYü Öj~jneã Ö^~^1
“Hakikat Namimah adalah menyebarluaskan rahasia dan menyingkap tirai sesuatu yang terbukanya sesuatu itu tidak disukai.”
Sedangkan Mutaba’ah adalah mengikuti perkembangan sesuatu. Ia biasa diartikan evaluasi. Biasa juga diistilahkan taqwim, yaitu upaya meluruskan sesuatu yang bengkok, tidak benar dan menyimpang.
Dalam suatu organisasi, mutaba’ah adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, alias sebuah kemestian, suatu keniscayaan. Baik mutaba’ah program, mutaba’ah keuangan ataupun mutaba’ah orang (SDM).
Pada titik mutaba’ah ketiga inilah sering terjadi kerawanan syar’i. Jangan-jangan dalam mutabaah itu kita terjerumus kedalam ghibah atau namimah, bahkan buhtan (na’udzubillah).
Ada kiat-kiat agar kita tidak terjerumus ke dalam tiga kerawanan tersebut, yaitu :
- Dalam mutaba’ah, kita harus senantiasa dalam suasana takwa dan isytisy’ar muraqabatillah (merasakan pengawasan Allah SWT.) setiap akan melakukan mutaba’ah orang, pemimpin majelis akan lebih baik jika :
a. Selalu mengingatkan urgensi takwa dan muraqabatillah.
b. Membacakan ulang definisi ghibah, namimah, dan buhtan.
- Dalam mutaba’ah, kita hanya membicarakan hal-hal faktual yang memang ada pada kenyataannya dan memiliki bukti-bukti kuat. Kita tidak memutaba’ah berdasar pada zhan (dugaan), prasangka, ataupun atas dasar “katanya dan katanya”, melainkan dari bukti kuat yang bisa dipertanggung jawabkan, misalnya kita melihat langsung, atau ada data otentik semacamnya.
- Dalam mutaba’ah itu, kita tidak sekedar berbicara untuk berbicara, akan tetapi kita membicarakan seseorang dengan maksud mengishlah (memperbaiki), men-taqwim (meluruskan yang bengkok dan menyimpang), serta mencari kemashlahatan ‘ammah yang lebih besar atau pertimbangan-pertimbangan yang dibenarkan oleh syari’at islam.
- Setelah selesai melakukan mutaba’ah, hendaknya kita senantiasa mengingat hadits Rasulullah SAW. yang menyatakan :
Äu- äi oæã rp<Å Ömäiöã äæCeä.UãäYü
“Majlis (forum) itu menjadi baik karena amanah.” (H.R. Ibnu Majah)
Maksudnya, majelis atau forum adalah sesuatu yang rawan. Ia akan selamat dari kerawanan itu dan menjadi majelis yang baik, bila semua yang hadir memiliki sifat amanah, baik saat berada didalam ataupun setelah keluar dari majelis itu. Segala pembicaraan yang ada didalam majelis itu harus dipandang dan disikapi sebagai suatu amanah, yang tidak boleh disampaikan kepada siapa saja, kecuali yang memiliki ahliyah (kapabilitas) untuk itu.
- Kita harus selalu sadar dan ingat serta menghayati makna yang terkandung dibalik do’a penutup majelis yang kita ucapkan. Lalu, kita berusaha untuk berkomitmen dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Semoga Allah SWT. selalu menjadikan majelis-majelis kita sebagai majalisul khair wan-naf’i wal barakati (majlis kebaikan, memberi manfaat dan keberkahan). Amin...
Sumber : Membangun Ruh Baru karya Ust. Musyafa Abdurrohim
0 komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum,,,,
Salam ukhuwah buat semua rekan-rekan yang mengunjungi kami...
Silahkan berikan komentar, saran, kritik, ide, apapun (asal positif dan membangun) pada kami boleh langsung kesini maupun ke email kami di pkslangensari@gmail.com . Syukron untuk sapaan semua rekan-rekan...
Salam hangat dari kami...
-DPC PKS Langensari-