dakwatuna.com – Allah swt. mengajarkan dalam Al Qur’an agar manusia tidak hidup secara fisiknya saja, melainkan lebih dari itu, ruhaninya harus hidup. Menghidupkan ruhani tidak seperti menghidupkan fisik. Ruhani membutuhkan makanan khusus. Untuk memberikan makan kepada ruhani, manusia tidak bisa mengarang sendiri. Manusia membutuhkan tuntunan wahyu. Akal yang Allah swt. berikan kepada manusia tidak sanggup menyediakan makanan ruhani. Karena itu Allah swt. mengutus nabi-nabi, untuk mengajarkan manusia kebutuhan ruhani tersebut.

Dalam surah Asy Syams, ayat 9-10 Allah swt. berfirman: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
Jiwa adalah unsur ruhani. Perhatikan ayat ini betapa Allah swt. seringkali menggunkan kata an nafs (jiwa) dalam Al Qur’an dalam menggambarkan kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan hakiki tidak terdapat dalam gemerlap harta. Bahwa bersih tidaknya jiwa atau ruhani sangat menentukan kebahgaiaan. Silahkan cari dibalik segala kesenangan nafsu, anda tidak akan pernah mencapai kebahagiaan. Silahkan kejar kekayaan yang paling maksimal, itu tidak akan pernah memberikan kebahagiaan. Banyak peristiwa membuktikan bahwa justru orang-orang semakin menderita ketika mencapai puncak kekayaannya.
Allah swt. yang menciptakan manusia, Dialah yang mengetahui kebutuhan hakiki manusia. Karena itu Allah swt. sediakan sarana ruhani berupa ibadah shalat menimal lima kali sehari. Shalat merupakan barometer semua ibadah. Dikatakan baromiter karena bila shalat seseorang baik, pasti ibadah yang lain akan baik. Tidak mungkin orang yang shalatnya baik, zakat, puasa dan hajinya tidak baik. Tidak mungkin orang yang shalatnya baik, akhlaknya tidak baik. Bila ada orang shalat, sementara akhlaknya tidak baik, itu pasti shalatnya tidak baik. Allah berfirman: “Innash shalaata tanhaa ‘anil fahsyaa’ wal mungkar (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar)” Al Ankabuut:45.
Karena itu Rasulullah saw. bersabda: “Bahwa yang pertama kali kelak akan dihisab dari seorang hamba di hari Kiamat adalah shalatnya.”
Mengapa shalat? Sebab shalat merupakan bukti kejujuran iman. Karena itu dalam banyak ayat Allah saw. selalu menekankan bahwa shalat yang diinginkan bukan sekedar shalat, melainkan shalat yang berkualitas. Kalau hanya sekedar shalat itu tidak akan mengantarkan kepada hakikat kepribadian seorang muslim sejati. Karena itu, kita sering menemukan banyak orang muslim yang shalat, tetapi tidak takut berbuat zina, korupsi dan lain sebagainya? Bahkan dengan terang-terangan menentang ajaran Allah swt. Benarkan shalat yang ia lakukan jujur? Tetapi mengapa kemaksiatan terus ia kaukan? Apakah firman Allah swt. salah ketika menegaskan bahwa, “Shalat pasti mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Atau shalatnya yang salah? Ia pura-pura shalat? Secara pasti Allah tidak mungkin salah berfirman. Dengan demikian ketika ada seorang yang shalat, tetapi terus berbuat maksiat, berarti shalatnya yang tidak jujur. Iti hanya shalat asal-asalan.
Karena itu Allah swt. mengancam orang yang shalatnya asal-asalan. Dalam surah Al Ma’uun Allah swt. berfirman: “Fawailul lilmushalliin. alladziina hum ‘an shalaatihim saahuun (masuk neraka orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dalam shlatanya).” Perhatikan kata saahuun dalam ayat di atas. Syaikh Ibn Asyuur mengatakan bahwa itu menunjukkan orang yang melaksanakan shalat tetapi dengan maksud riya’. Artinya sekedar formalitas ritual atau sekedar memenuhi kewajiban dan tidak mengharapkan pahala dari Allah swt. Akibatnya ia hanya shalat secara fisik saja. Ruhaninya kosong. Karena itu, shalat tersebut tidak memberikan dampak apa-apa dalam dirinya. Ia shalat, tetapi tetap tidak menemukan kebahagiaan. Ia shalat tetapi tetap suka melakukan dosa-dosa. Inilah model manusia yang oleh Allah swt. dikatakan sebagai alladziina hum ‘an shalaatihin saahuun.
Kata “saahuun” artinya lalai. Lalai karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukan di luar shalat. Lalai karena hanya memahami shalat sebatas ritual. Lalai karena mamaknai shalat secara sempit, sehingga ruang lingkup tunduk kepada Allah swt. hanya di masjid saja, sementara di luar masjid merasa tidak perlu mentaati Allah swt. Akal yang mana yang mengatakan bahwa tunduk kepada Allah swt. cukup hanya dengan formalitas ritual saja? Nabi yang mana yang mencontohkan bahwa mentaati Allah hanya cukup dalam shalat saja, di masjid saja? Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : Ditulis Oleh DR. Amir Faishol Fath
Artikel dicetak dari dakwatuna.com: http://www.dakwatuna.com
URL ke artikel: http://www.dakwatuna.com/2008/jalan-ruhani/
2 komentar:
Ass...Isinya subhanallah menggugah sekali...tersentuh...makasih infonya...terus up date ya...salam ukhuwah...
wa'alaikumsalam... Alhamdulillah jika artikel yang kami upload dapat bermanfaat untuk semua.. doakan kami agar tetap istiqomah... waiyyakum...
Posting Komentar
Assalamualaikum,,,,
Salam ukhuwah buat semua rekan-rekan yang mengunjungi kami...
Silahkan berikan komentar, saran, kritik, ide, apapun (asal positif dan membangun) pada kami boleh langsung kesini maupun ke email kami di pkslangensari@gmail.com . Syukron untuk sapaan semua rekan-rekan...
Salam hangat dari kami...
-DPC PKS Langensari-