Selasa, 19 Juli 2011

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling
memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling
berkasih sayang.
Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW :
“Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang
yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu
masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai.” (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani,
Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari).
Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan
kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar’i yang menggariskan aqidah “La
tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq”. Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq
dalam berma’siat kepada Alkhaliq. (HSR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).
Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam
senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : “Level terendah
ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang
hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan
saudara diatas kepentingan diri).
Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap
ikhwah : “Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi
fasayakununa bighoirihi” (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain
mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu
semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang
paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan
adalah saudara kekafiran (Risalah Ta’lim, rukun Ukhuwah).
Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah
Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka
“kerugian apapun” yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da’wah, yang
ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak
tahan beramal jama’i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. “Dan jika kamu
berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak
akan jadi seperti kamu” (Qs. 47: 38).
Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da’wah ini. Ada yang sejak 20
tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan
yang berbenturan dengan jadwal da’wah atau oleh urusan yang merugikan da’wah.
Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan
kepentingan da’-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad
yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika
menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup
mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan
iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana.
“Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah
pengantinku tercinta”, tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis
sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas.
Kala itu jarang da’i dan
murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi
hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan
karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. “Ummi au shalati :
Ibuku atau shalatku?” Sekarang yang membingungkan justru “Zauji au da’wati” :
Isteriku atau da’wahku ?”.
Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah
dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut
bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya :
“Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa
pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya
cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah”. Dia pergi menerobos
segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih
mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah
beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah
yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang
ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.
Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya
mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk
da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’).
Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh
penyakit “syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan
keluarga” (Qs. 48:11).
Ia berjanji pada dirinya : “Meskipun terjadi hujan, petir dan
gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah”. Pada giliran berangkat keesokan
harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. “Wah ia yang sudah
memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?”. Maka ia pun
absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da’wah
besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus
datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang
kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah.
Sampai hari ini pun saya
melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak
pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik
halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya
adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang
dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka
menemukan sesuatu yang lain, “in lam takun bihim falan takuna bighoirihim”.
Di Titik Lemah Ujian Datang
Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul.
Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : “Tanyakan pada
mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di
(tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada
Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami
uji mereka karena kefasikan mereka”. Secara langsung tema ayat tentang sikap dan
kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah
kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.
Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak
orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari
untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit
waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah
yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut
dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri
adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi
semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya
sedang dibawah.
Seorang masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah,
mengajak rekannya untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan
ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah,
da’wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. “Ternyata kayanya
kaya begitu saja”, ujar Syaikh tersebut.
Ternyata kita temukan kuncinya, “Demikianlah kami uji mereka karena sebab
kefasikan mereka”. Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang
paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah
justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saatsaat
jam da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau
mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila
diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju
membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak
kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan,
kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan
cobaan sepanjang hari.
Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah
Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak
ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan
menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri
dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain
yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya,
aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai
segalanya?
Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir
perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu
ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau
keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari
kekayaan ALLAH ?
Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah,
yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah.
Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua
kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan.
Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan “Seandainya para raja dan
anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu,
niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang”. Sayang hal
ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah
adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan
problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh
mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang
menipu dan impian yang tak kunjung putus.
Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang
lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia
juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang
amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah
dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan
orang yang terkesan tidak menghormatinya.
Yang lidahnya tajam dan berbisa
mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah
dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’
dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.
Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib)
ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah
SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin
tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah
kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil
dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan
dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.
Seni Membuat Alasan
Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah
dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan
membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada
dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu.
Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. “Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik
dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni
daku karena ketidaktahuan mereka”, demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari
kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? “Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka
baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu”,
demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai’Llah.
Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya,
sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau
merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah
tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, “Afwan ya Akhi”.
Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar
Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita,
memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran
bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim
telah berjasa kepada Islam dan da’wah. “Mereka membangkit-bangkitkan (jasa)
keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu
(sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah
memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu
memang jujur” (Qs. 49;17).
ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia
besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan
yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan
sempurna – menung-gu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : “Nah,
rasain !” Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah
kebahagiaan ini?.
Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka,
terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara
yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya,
seraya berkata : “Untukmu pun hak seperti itu”, seperti pesan Rasulullah SAW.
Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada
mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata
iman dan cinta fi’Llah.
Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan
cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.

0 komentar:

Posting Komentar

Assalamualaikum,,,,
Salam ukhuwah buat semua rekan-rekan yang mengunjungi kami...
Silahkan berikan komentar, saran, kritik, ide, apapun (asal positif dan membangun) pada kami boleh langsung kesini maupun ke email kami di pkslangensari@gmail.com . Syukron untuk sapaan semua rekan-rekan...
Salam hangat dari kami...
-DPC PKS Langensari-

Para Pengemban Amanah

Para Pengemban Amanah